Minggu, 23 Maret 2014

Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di dunia. Selama pemerintahan bani Abbasyiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut. Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan , kebudayaan dan peradaban yag mengagumkan, yang dapat di buktikan keberadaannya baik melalui berbagai sumber informasi dan buku-buku sejarah maupun melalui pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia. Pendidikan Islam yang sangat berkembang pada masa Bani Abbasyiyah yaitu pada pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, pendidikan Islam sangat berkembang pesat sehingga banyak ilmu-ilmu baru yang sampai saat ini terus dikembangkan, misalnya dalam ilmu umum diantaranya bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Juga dalam ilmu agama diantaranya tafsir, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan membahas mengenai kemajuan-kemajuan pendidikan yang dicapai pada masa pemerintahan bani Abbasiyah. Bebagai kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin tejadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya insani yang menggerakan kemajuan tersebut.   BAB II ISI 1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasyiyah. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama, senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi. Berbagai informasi yang menggambarkan keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai berikut. 2. Keadaan Lembaga pendidikan Pada zaman Abbasiyah ini telah berkembang lembaga pendidikan berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesuasastraan, observatorium, dan madrasah. Penjelasan lebih lanjut tentang berbagai lembaga pendidikan islam yang tumbuh pada zaman Abbasiyah dapat di kemukakan sebagai berikut. a. Al-Hawanit al- Warraqien (Toko Buku) Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebt mendorong lahirnya para pengarang, dan mereka mendorong lahirnya indrustri perbukuan, dan industri perbukuan mendorong lahirnya toko-toko buku yang dalam bahasa arab Al-Hawanit al- Warraqien. Di beberapa kota atau negara tersebut telah mengalami kemajuan. Toko-toko yang menjual kitab tersebu muncul pada zaman daulat Abbasiyah, kemudian menyebar dengan cepat pada setiap ibu kota dan berbagai negara Islam , bahkan di setiap sudut kota. b. Manzil al-Ulama (Rumah-rumah Para Ualma) Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan Islam , yaitu pada saat sebelumtumbuhnya masjid. Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan rumah Al-Arqam (Dar Al-Arqam) bin Abi Arqam sebagai tempat bertemunya para sahabat dan pengikut nabi, dan mengajar dasar-dasar agama yang baru, serta membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Diantara rumah yag i gunkan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah Al-RaisIbn Sina, rumah Abu Sulaiman banyak di kunjungi para ulama untuk melakuka tukar- menukar informasi (Muzakarah), berdiskusi (munazara), pada tempat yang berbeda-beda, dan Abu Sulaiman bertindak sebagai tenaga ahli yang memberikan penilaian (expert judgement). Selanjutnya rumah yang digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para pelajar dan para guru untuk mematangkan ilmunya yaitu Al-Ghazali yang menerima para siswa di rumahnya itu, setelah ia berhenti bertugas sebagai guru di Madrasah Al-Nidzamiyah. c. Al-Sholun al-Adabiyah (Sanggar Sastra). Al-Sholun al-Adabiyah(Sanggar Sastra) ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian berkembang pesat pada zaman Bani Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa’ Al-Rasyidin. Adapun sanggar sastra dibuat dengan meniru kebudayaan asing yang di ambil oleh khalifah Arab dari penguasa yang agung yng merupakan tanda penghormatan atas kekuasaannya. Dengan demkian di sanggar sastra ini terdapat ketentuan dan kode etik yang khusus. d. Madrasah Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Berdirinya madrasah ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbaai keterampilan semakin berkembang dan untuk mengerjakannya diperlukan guru yang lebih banyak, peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan adinistrasi yang lebih tertib. Untuk menangani semua keperluan itu diperlukan madrasah. Selain itu madarasah juga didirikan dengan tujuan untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan ideologi tertentu sebagaimana tejadi pada madrasah Nidzamiah. e. Perpustakaan dan observation Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi di zaman Abbasiyah, maka didirikan pula perpustakaan, observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Tempat-tempat ini digunakan sebagai tempat mengajar dalam artian luas yaitu kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa(student centries)i, seperti belajar memecahkan masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan inquiry (penemuan). f. Al-Ribath Secara umum al-Ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan dan pengajaran bagi calon sufi. Di dalam al-Ribath tersebut terdapat berbagai ketentuan dan komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf. Murid padam ar-Ribath di bag sesuai tingkatannya. Mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah. Adapun yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah. g. Az-Zawiyah Secara umum az-Zaqwiyahi berarti tempat yang berada dibagian pinggir masjid yang digunakan untuk tempat berdzikir, melakukan bimbingan wirid untuk mendapatkan kepuasan spiritual. 3. Tingkat-Tingkat Pengajaran Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu: 1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[9] 2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga musik. 3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan: a. Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab. b. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran 4. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya. Pada masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. a. Metode Lisan Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira’ah dan diskusi. Metode dikte (imla’)adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena denganimla’ ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki. b. Metode ceramah Metode ceramah disebut juga metode as-sama’, sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Metode qiro’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini. c. Metode Menghafal Metode menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru. d. Metode Tulisan Metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi 5. Materi Pendidikan Pada Masa Abbasiyah Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).Hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada masa sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan.Materi pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi. Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam”, yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari)yakni, Al-Qur’an, Shalat, Do’a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum secara tuntas dan detail), Membaca dan menulis Sedangkan materi pelajaran ikhtiari (pilihan) ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya nahwu yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara tuntans dan detail); Syair-syair; Riwayat/ Tarikh Arab 6. Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan pada zaman Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunannya atau konsepnyabelum seperti apa yang dijumpai seperti sekarang. Kurikulum pada masa itu lebih merupakan susunan mata pelajaran yang harus diajarkan pada peserta didik sesuai dngan sifat dan tingkatannya. 7. Tradisi Ilmiah dan Atmosfer Akademik Tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa sbelumnya adalah sebagai berikut; a. Muazakarah(Tukar Menukar Informasi) Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk saling bertukar pikiran, pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran. b. Munazarah (Berdebat) Tradisi ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang tertentu untuk saling menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan argumentasi yang dimiliki masing-masing ulama. Tradisi ini memiliki pengaruh yang kuat kepada para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuannya masing-masing. c. Rihlah Ilmiah Rihlah ilmiah berarti melakukan perjalanan atau pengembaraan dari suatu daerah ke daerah lain dalam rangka menuntut ilmu atau melakukan penelitian terhadap sesuatu masalah. Tradisi ini terjadi seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan pada berbagai wilayah tersebut d. Penerjemahan Tradisi penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan dan keperluan para ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah. Khalifah Bani Abbasiyah bernama Al-Makmun sangat memberikan perhatian terhadap kegiatan penerjemahan. Ia mendirikan Bait al-Hikmah (rumah kegiatan ilmu ) untuk melakukan kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani, India, dan Cina dan menyewa penerjemah asing, seperti, Hunain Ibn Ishak. e. Mengkoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan Tradisi mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi membaca dan menulis buku. Kegiatan mengoleksi buku ini tidak hanya terjadi terjadi pada perorangan, malainkan juga secara kelembagaan. f. Membangun Lembaga Pendidikan Yang dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau wadah yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran, bimbingan, dan pelatihan, baik yang bersifat formal, non formal maupun informal. Lembaga pendidikan tersebut seperti, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah. g. Melakuakn Penelitian Ilmiah Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar diarahkan kepada dua hal. Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan atau teori. Penelitian jenis pertama ini disebut sebagai penelitian ilmiah. Kedua, penelitian untuk menerapkan teori atau kosep menjadi sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis mendatangkan manfaat atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara lahir naupun batin. Penelitian jenis kedua ini disebut sebagai penelitian terapan. h. Menulis Buku Sejalan dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan bervariasi, maka pada zaman Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di antara penulis penulis tersebut adalah : 1) al- Jahidz, ia di kenal sebagai seorang sastrawan terkenal yang hidup pada zaman al-Makmun dan berani menulis tanpa terikat pada tradisi lama. 2) Imam Bukhari, ia dikenal sebagai peneliti dan penulis Hadis yang mahsyur. 3) Ibn sa’id, ia mengarang buku tentang kemenangan umat islam dalam peperangan dengan judulThabaqat al-Qubra sebanyak 8 jilid. i. Memberikan Wakaf Tradisi memberikan wakaf ini terjadi antara lain ketika seseorang yang memiliki banyak harta, sedangkan tidak ada keturunan untuk merawat dan memanfaatkannya dengan baik, maka harta tersebut diserahkan kepada sebuah lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dasar ikhlas karena Allah SWT. Selain itu, wakaf juga muncul sebagai jalan untuk menjalin kesalihan sosial dan pendekatan diri kepada Allah SWT, serta bekal pahala di akhirat. 8. Para Ilmuwan Dan Guru Sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi serta atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini di tandai pula dengan lahirnya para ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai para guru. Mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agam Islam melainkan juga ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, seni dan arsitektur. Di antara para ilmuwan dan guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah: a. Al-Razi (guru Ibnu Sina) Ia berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina. b. Al-Battani (Al-Batenius) Seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan. c. Al Ya’qubi Seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae. d. Al Buzjani (Abul Wafa) Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri). e. Ibn Sina Ibn Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Dengan karya-karyanya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Ensiklopedi Kedokteran) sebanyak tiga jilid, al-Syifa dan Al-Najah. f. Ibn Miskawih Ibn Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya adalah Tahdzib al-Tahdzib. g. Ibn Jama’ah Ibn Jama’ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak,Tadzkirat al-Sa’mi lil ‘Alim wa al-Muta’allim. h. Imam al-Juwaini Imam al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah Nidzamiyah tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad. i. Imam al-Ghazali Imam al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah, istana, dan di masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya’ Ulum al-Din sebanyak tiga jilid, ia telah tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf. Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah. Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain : 1) Ilmu Umum A. Ilmu Filsafat • Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul. • Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun. • Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H) • Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H) • Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain • Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin dan lain-lain • Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain B. Bidang Kedokteran • Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia. • Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing. • Thabib bin Qurra (836-901 M) • Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin. C. Bidang Matematika • Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad. • Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0). D. Bidang Astronomi Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti : • Al Farazi : pencipta Astro lobe • Al Gattani/Al Betagnius • Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan • Al Farghoni atau Al Fragenius E. Bidang Seni Ukir Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan. 2) Ilmu Naqli A. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain B. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain C. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali D. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H) karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H) karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain. E. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278). 9. Sarana pendidikan Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya. Gedung sekolah, perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi para guru, asrama bagi mahasiswa, ruang praktikum bagi para mahasiswa, dan berbagai sarana lainnya yang dibutuhkan tersedia dengan memadai. Ketersediaan sarana prasarana dan peralatan belajar mengajar terjadi berkat adanya perhatian yang besar dari pemerintah serta masyarakat pada umumnya terhadap masalah pendidikan 10. Pembiayain Pendidikan Sumber pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah serta dari dan wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan untuk biaya hidup para guru, para pelajar, pembangunan gedung sekolah, serta pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan lainnya. Biaya pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga pendidikan yang diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh pemerintah. Menurut catatan para ahli sejarah, bahwa pada setiap tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan dan tidak kurang dari 600.000 dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk ukuran waktu itu, atau sebanyak 6 triliun untuk ukuran waktu sekarang. 11. Manajemen Pendidikan Terjadinya kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adany manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung sekolah dibanmgun, diatur, dipelihara, digunakan dan dikelola dengan tertib. Rumah-rumah bagi guru, dan asrama bagi para pelajar dibangun sesuai dengan rapid an tertib. Demikian pula jadwal kegiatan belajar mengajar, tugas-tugas bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik. Hubungan antara lembaga pendidikan yang berada di pusat pemerintahan dan yang ada di daerah diatur dan dikelola dengan baik. Lembaga pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah kementrian pendidikan. 12. Para Pelajar Para pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari daerah sekitarnya serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu menyebabkan kota Baghdad menjadi masyarakat multi etnis dan multikultural. Interaksi antara para pelajar yang berasal dari latar belakang daerah yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan tradisi ilmiah yang luar biasa. Keadaan ini semakin menambah suasana kegiatan intelektual makin meningkat dan mendorong proses pematang keilmuan seseorang.   BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah. Banyak sekali faktor pendorong yang memicu dalam terbentuknya dinasti bani abbasiyah. Dinasti Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa, yaitu mulai dari Abu al-Abbas Assafah di tahun 750 M sampai dengn Al-Mu’tashim di tahun 1258 M. Dalam waktu selama lebih dari lima abad tersebut kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah. Masa pemerintahan bani Abbasyiyah merupakan puncak perkembangan pendidikan Islam di dunia. Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Pada masa Nabi, masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Selama pemerintahan bani Abbasiyah, banyak bidang pendidikan Agama maupun bidang pendidikan umum yang muncul beserta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan tersebut. Seperti Al-Razi, Al-Battani, Al Ya’qubi, Al Buzjani, Ibn Sina, dan masih banyak yang lainnya. Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain ilmu umum dan ilmu naqli. Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu tingkat sekolah rendah, Tingkat sekolah menengah, dan Tingkat perguruan tinggi. Mengenai lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah juga mengalami banyak kemajuan dalam lembaga pendidikannya seperti, toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan madrasah. Pada masa Dinasti abbasiyah dalam pengajarannya, metode pendidikan/pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan. Sedangkan materi Materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari). Kurikulum pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya belum seperti yang dijumpai di masa sekarang.   Daftar Pustaka • Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2011 • Nizar , Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta , Kencana, 2007 • Fachruddin, Fuad Mohd, Perkembangan kebudayaan Islam, Jakarta ,PT Bulan Bintang, 1985 • http://zahfizahroturrofiah.blogspot.com/2013/04/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa.html 2/24/2014 5:06:38 PM

PENYIMPANGAN ADMINISTRASI POLITIK DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

PENYIMPANGAN ADMINISTRASI POLITIK DAN PEMBERANTASAN KORUPSI Tugas ini di ajukan untuk Tugas mata kuliah Metodologi Pendidikan Semester 6 Di Susun Oleh ; Mukhammad ‘Alwi 1121421036 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 2014-2015 KATA PENGANTAR Setiap Negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan negaranya secara keseluruhan demi tercapainya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera . untuk itu komponen-komponen suatu negara terutama pemerintah selalu melakukan usaha-usaha demi meratanya pembangunan bangsa dan negara itu sendiri . namun terkadang segala sesuatu yang telah disusun dan direncanakan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan . banyak sekali halangan dan rintangan dalam usaha melakukan pembangunan bangsa dan negara . bahkan biasanya hambatan ini justru datang dari petinggi-petinggi negara ini . salah satu masalah terbesar negara ini yang dianggap hambatan yang paling susah diberantas adalah tindak pidana korupsi . hal inilah yang merupakan masalah terbesar Negara ini . maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia seakan menjadi ”tren” dikalangan orang-orang penting di Negara ini . korupsi tidak hanya dilakukan sebagai ajang mencari tambahan penghasilan namun terkadang ada alasan-alasan tertentu yang sulit diterima oleh masyarakat . Korupsi secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang begitu besar terhadap kelangsungan kehidupan rakyat Indonesia . sebagian besar rakyat Indonesia bahkan lebih dari separuhnya adalah rakyat “miskin” . sedangkan oknum-oknum itu, seenaknya merampas hak rakyat . Dalam hal ini pemerintah bekerja keras mencari penyelesaian masalah ini . oleh karena itu mulailah dibentuk lembaga-lembaga pemberantasan korupsi. Namun pada kenyataanya hal ini belumlah cukup untuk menanggulangi tindak pidana korupsi . yang dipertanyakan adalah mengapa hukuman para pelaku tindak pidana korupsi yang seperti orang “tidak berpendidikan” ini jauh lebiih ringan dibanding hukuman rakyat biasa yang sekedar mencuri ”ayam” .   BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya. Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi. Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi . Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Selama ini yang telah dan sedang dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai fenomena negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah. Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa. Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi. Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Pembangunan seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi negara, terutama negara yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia. Di negara berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat, sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri. Ketidakberdayaan masyarakat sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan proyek, disini pula menjadi sumber korupsi. Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll. Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu, kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba dan akhirnya menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera. A. Garis Besar (Benang Merah) Pemerintah harus menolak pembentukan daerah otonom baru ketika belum memenuhi syarat. Desakan DPR untuk memekarkan 19 daerah baru bisa dilihat sebagai ladang perburuan kekuasaan saja. B. Komentar 1. Dalam sistem demokrasi yang mahal, kekuasaan penting untuk mendatangan uang selanjutnya uang di gunakan untuk mendapatkan kekusaan. Terjadilah siklus Power Making Money, Money Making Power. Seperti problem di dalam artikel yang sedang di bahas di atas. 2. Harapan pemberantasan Korupsi bisa di lakukan dengan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi. Sistem yang bisa di harapkan itu tidak lain adalah Syariah Islam. 3. Politik Islam basisnya adalah pemeliharaan urusan umat. Kekuasaan hanya jadi alat memelihara urusan umat. Hanya dengan islam, Kekuasaan dijalankan demi menjamin pemeliharaan urusan dan kemaslahatan umat. Saatnya campakkan demokrasi kapitalisme, dan terapkan syari’ah dalam bingkai khalifah Rasyidah.   Komentar ; 1. Saya teringat dengan cakapnya Marzuki Alie, ketua DPR RI : ”Orang miskin itu karena salahnya sendiri dia malas bekerja. Jadi bukan salah siapapun kalau ad orang miskin’. 2. Warga miskin, sudah di buatmenderita oleh penguasaannya masih juga disalahkan dan dianggap sebagai pemalas. Tuduhan itu hanyalah untuk terlepas tanggung jawab. 3. Kemiskinan sudah menjadi kemiskinan structural akibat penerapan system economi kapitalisme dan para penguasa, pejabat dan pegawai Korup. 4. Kemakmuran hanya bias dirasakan setiap individu rayat jika diterpakan Sistem Economi Islam daam bingai Khalifah Radhiyah, saatnya kita perjuangkan dan wujudkan.   Artikel yang di Tugaskan pada mata kuliah Metodologi Pendidikan Semester 6 Mukhammad ‘Alwi 11214210136 PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 2014-2015

Kaidah-kaidah Ushul Fiqh

Kaidah-kaidah Ushul Fiqh Tugas Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Pembelajaran Fiqh 1. Dosen : Drs. Oking Setia Priyatna, M.Ag Alfiansyah Muhammad Alwi Wahyu Antono Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor 2013-2014 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang pencipta Alam semesta, pengatur jagat raya, dan pemelihara semua makhluk ciptaan-Nya, yang dengan rahmat-Nya kita bisa merasakan segala kenikmatan yang diberikan oleh-Nya, karena tidak ada daya dan upaya untuk melakukan segala sesuatu tanpa keadilan-Nya, dengan kehendak-Nya jugalah sehingga penulis diberikan kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat serta salam tetap tercurah bagi mujahid sejati, pemimpin yang tak salah pilih kasih, sederhana dan penuh simpati dan suri tauladan yang penuh budi pekerti Nabi kita Muhammad SAW, pendobrak pintu kejahiliayahan, penegak keadilan dan seorang iman yang abadi sepanjang zaman. Tugas ini di buat dan di susun untuk memenuhi salah satu syarat tugas dari mata kuliah Pembelajaran Fiqh 1, sehingga penulis diberi kemampuan untuk membuat dan menyelesaikan tugas tersebut. Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin untuk menulis tugas ini, tapi penulis menyadari tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan. Harapan penulis, semoga tugas ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kita semua. Dan semoga Allah SWT selalu menuntun kita kepada jalan yang di ridhoi-Nya. Amin ya Robbal ‘ Alamin. Bogor,……. DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Quran atau sunnahnya. Namun, pada masa berikutnya,masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang. Selain aktif dalam jihad dan dakwah, para para sahabat terkemuka juga mengemban tanggung jawab sebagai rujukan fatwa dan informasi keagamaan bagi umat di daerah yang mereka datangi. Kontak antara bangsa arab dan bangsa- bangsa lain di luar arab dengan corak budayanya yang beragam segera menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan tujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash-nash al-Quran atau hadis dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi. Pada masa berikutnya tanggung jawab itu beralih kepada para tokoh tabi’in, kemudian tabi’ al-tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan ushul fiqh? 2. Apa kaidah-kaidah ushul fiqh? 3. Apa kegunaan ushul fiqh? C. Tujuan Pembahasan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui : 1. Pengertian ushul fiqh? 2. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh? 3. Mengetahui kegunaan ushul fiqh? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ushul Fiqh. Ushul fiqih (أصول الفقه) tersusun dari dua kata, yaitu ushul (أصول) dan fiqh (الفقه).Ushul (أصول) merupakan jamak (bentuk plural atau majemuk) dari kata ashl (أصل) yang berarti dasar, pondasi atau akar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. (QS. Ibrahim [14] : 24) Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau, asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, menyatakan bahwa arti ashl (أصل) secara bahasa adalah perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik pada sesuatu yang bersifat indrawi seperti membangun dinding di atas pondasi, atau bersifat ‘aqli, seperti membangun ma’lul diatas ‘illah dan madlul diatas dalil. Sehingga pengertian Ushul Fiqh secara etimologi ialah dasar atau pondasi (kaidah) dari suatu pemahaman. Begitupun dengan pendapat para ulama mengenai ushul fiqh, diantaranya pendapat : 1) Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah, yang dimaksud ushul fiqh ialah Ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya. 2) Jumhur ulama ushul fiqh mendefinisikan ushul fiqh sebagai himpunan kaidah yang berfungsi sebagai alat penggalian hukum-hukum syara’ (istimbath hukum) dari dalil-dalilnya atau pengetahuan tentang kaedah-kaedah yang dapat menghantarkan seseorang kepada penggalian hukum (istimbathul ahkam) 3) Menurut Abd. Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh ialah Ilmu pengetahuan tentang kaedah-kaedah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliyah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaedah-kaedah atau metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliyah) dari dalil-dalil yang terperinci. 4) Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum). 5) Drs. Muhammad Thalib, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terperinci. Sehingga pengertian Ushul Fiqh secara terminologi ialah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang berfungsi sebagai alat penggalian hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh. B. Kaidah-kaidah ushul fiqh.  Al amru Pembahasan Al-amru dalam pasal ini hanya meliputi pengertian dan beberapa kaidah tentang Al amru. Pengertian Al amru ialah perintah, suruhan atau tuntutan. Perintah atau suruhan adakalanya datang sesudah larangan dan di pertanyakan pula apakah harus segera dikerjakan atau bila ada perintah mengerjakan sesuatu apakah juga sarana-sarana untuk pelaksanaan perintah itu wajib dilaksanakan dan sebagainya. Namun demikian yang mashyur di kalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi ialah ibahah. Seperti firman Allah swt. Artinya : Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah... ( Q. S al- Jum’ah : 10) Sesudah larangan dalam ayat berikut : Artinya : wahai orang-orang beriman apabila di panggil untuk menunaikan shalat pada hari jum’at maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.. (Q.S al-Jum’ah : 9) Pada ayat pertama ada perintah atau suruhan bertebaran dimuka bumi padahal sebelumnya ada larangan berjual beli yang juga berarti mencangkup dalam hal pekerjaan-pekerjaan lain. Maka dengan demikian perintah pertama boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan.  An nahyu An nahyu atau nahi, artinya menurut bahasa adalah larangan, tegahan atau yang terlarang. “Tuntutan untuk tidak mengerjakan (mengerjakan) sesuatu dari pihak yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.” Menurut jumhur makna nahyu pada dasarnya menunjukan kepada haram seperti firman Allah : Artinya : Janganlah kamu mendekati zina. (Q.S 17 : 32) Selain dari itu didapati pula makna-makna nahyu yang menunjukan kepada arti lain. Jumhur ulama membenarkan hal yang demikian akan tetapi apabila ada lafadh yang menyertainya. Bila demikian itu telah ada maka larangan itu bisa berubah dari makna asli yaitu dari haram kepada makna yang lain. Atas dasar itu maka makna larangan itu tidak menunjukan haram tetapi bisa berubah sebagai berikut : 1. Makruh, seperti dalam firman Allah : Artinya : wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu. (Q.S al-Maidah : 87). 2. Irsyad (petunjuk atau bimbingan), seperti dalam firman Allah : Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu. (Q.S al-Maidah : 101). 3. Doa, seperti dalam firman Allah : Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami. (Q.S al-Imran : 8). 4. Kelanggengan, seperti dalam firman Allah : Artinya : Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari pada yang diperbuat oleh orang-orang dhalim. (Q.S Ibrahim : 42). 5. Menerangkan akibat, seperti dalam firman Allah : Artinya : Janganlah kamu mengira bahwa orang yang gugur dijalan Allah itu mati tetapi mereka itu hidup. (Q.S al-Imran : 169). 6. Membuat putus asa, seperti dalam firman Allah : Artinya : Hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan uzur (alasan untuk dapat diampuni) pada hari ini. (Q.S At Tahrim : 7). 7. Menghibur dan menyenangkan hati, seperti dalam firman Allah : Artinya : Jangan engkau berduka cita sesungguhnya Allah beserta kita. (Q.S At taubah : 40).  Muthlaq dan Muqayyad Menurut ulama ushul muthlaq ialah suatu lafadh tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Sedangkan lafadh muqayyad dapat dikatakan, suatu lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah firman Allah SWT dibawah ini : Artinya : orang-orang yang mendhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapat budak maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka barang siapa yang tidak kuasa wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. (Q.S 58 : 3-4). Penyebutan lafadh Roqobah, dalam ayat tersebut adalah muthlaq maka boleh budak kafir dan budak mukmin. Penyebutan lafadh Shahroini mutatabi’aini adalah muqayyad maka puasa itu harus berturut-turut selama dua bulan, tidak boleh terputus-putus. Dari ayat tersebut dapat juga menunjukan adanya muqayyad dan muthlaq yaitu : a. Memerdekakan budak dan berpuasa dua bulan berturut-turut, yang harus dilakukan sebelum kedua suami istri itu bercampur. Disini hukumnya muqayyad. b. Memberi makan enam puluh orang miskin, tidak disebutkan sebelum atau sesudah bercampur. Disini hukumnya muthlaq. Tetapi karena memberi makan itu sebagai pengganti dari budak atau puasa dua bulan tersebut, maka memberi makan kepada enam puluh orang miskin itupun dilaksanakan sebelum mereka bercampur.  Dhahir Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukan suatu arti asal tanpa memerlukan faktor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain. Sebagai contoh dalam firman Allah : Artinya : .... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...( Q.S Al-Baqarah : 275). Penjelasan tentang dhahir adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh yang ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung didalamnya. C. Kegunaan Ushul Fiqh Adapun kegunaan lain dari ilmu-ilmu ushul fiqih diantaranya : 1. Dengan mengetahui ushul fiqh, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-qur’an, hadist Rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat Islam yang mulia ini 2. Dengan ushul fiqh, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. 3. Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa Nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam Al-qur’an dan Al-hadits. 4. Dalam ushul fiqh akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan. 5. Dengan mempelajari ushul fiqh, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya. 6. Ushul fiqh dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqh seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-dalilnya. 7. Ushul fiqh dapat menjaga aqidah islam dengan membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang. Sehingga ushul fiqh merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung dan menangkal segala bentuk kesesatan. 8. Ushul fiqh menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqh, hukum tersebut dapat diketahui. 9. Dalam ushul fiqh, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut. 10. Dengan ushul fiqh, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama islam. BAB III KESIMPULAN Kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh memiliki objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang berdiri sendiri. Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul fiqh. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi menjadi dua yakni, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti. DAFTAR PUSTAKA • Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. • Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press. • http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.

PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH

PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH Tugas Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan PAI. Dosen : Bapak Prof. DR. Didin S. M.Ag Di Susun Oleh ; Aditya Rachman Muhammad ‘Alwi Neng Warsih PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 2014-2015 KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Perbandingan Pendidikan PAI dengan judul “Pendidikan Pada Masa Dinasti Bani Umayyah”. Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman. Tugas ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan PAI dan sebagai bahan diskusi mahasiswa, untuk memahami Pola Pendidikan di masa Bani Umayyah. Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan dan kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.   DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN 1 1. Latar Belakang 1 2. Tujuan 1 BAB II PEMBAHASAN 2 1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah 4 2. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah 6 3. Pendidik Pada Masa Bani Umayyah 7 4. Peserta Didik Pada Masa Bani Umayyah 8 5. Pendanaan Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah 9 BAB II PENUTUP 13 1. Kesimpulan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern. Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang). Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf. Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi Monarci(Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus. Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib. Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi. Pada dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu. B. Rumusan Masalah 1. Mengetahui Sejarah berkembangnya Ilmu Pengetahuan pada masa Bani Umayyah.   BAB II PEMBAHASAN 1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara. Selain kemajuan seperti di atas ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah: 1. Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat. 2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah. 3. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain. 4. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah: A. Khuttab Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. B. Masjid Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid. Peranan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang. Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama. C. Majelis Sastra Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”. D. Pendidikan Istana Pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid. Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah. Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah: Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”. Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang. Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golongan. Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah. 2. Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban. Sementara di timur (negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek. Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum bani Umayyah mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara. Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddahuntuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu. Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah: a. Kurikulum Pendidikan Rendah Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan. Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh. Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasri’). b. Kurikulum Pendidikan Tinggi Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah). Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetrapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadits dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadits, fiqih dan ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya. Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran. Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:  Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan perternakan, serta biografi dan kisah.  Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, music, aritmatika, dan hokum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi, teologi-doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib. Masuknya ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut. 3. Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya, baik sebagai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki. a. Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Bani Umayyah Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990: 129) Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik. Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 syarat: 1. Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih. 2. Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi perbuatan yang tidak terpuji. b. Pranata Sosial Guru Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3 golongan adalah: Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.  Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.  Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya. Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu. Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi. 4. Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa. a. Pengertian dan Batasan Murid Murid adalah anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga pendidikan. Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan dasar. Di kuttab para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. Menurut Hudgson, pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca dan menulis. Sementara menurut Stanton, pada abad pertama hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokuskan pada menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkan ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah. Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang masuk kedalam pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi. b. Biaya dan Lama Belajar Biaya selama di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu dan setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma. Selain itu ada juga orang tua murid yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya. Lama belajar di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah murid menghafal Alquran. c. Keadaan Murid Menurut Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu belajar dimulai pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar. Biasanya setelah selesai shalat zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun murid yng berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dan murid-murid lain harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua. 5. Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot.  Sumber Biaya Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah a. Subsidi Pemerintah/Negara Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar keluar madinah tersebar luas keluar madinah sejalan dengan persebaran masjid. Di daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur, sehingga biaya pembangunan ditanggung pemerintah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya. b. Wakaf Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode pada masa keemasan peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah). Pemberian wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya pemberi wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang dianut. Disamping itu pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola wakaf tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut. Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Oleh karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang di biayai oleh hasil wakaf berubah-rubah dari waktu ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan. Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid khan), pembiayaannya berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur berupa pondok dan toko untuk lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka belajar membaca dan menghafal Alquran. c. Orang Tua Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi orang tua murid. Biaya ini juga mereflesikan kemajuan siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut. Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun. Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan. Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya. d. Siswa Seorang ilmuan yang mengajar dimasjid atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar. Ibrahim Al-Zadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan mereka. Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap yang terdiri dari pekerja. Orang-orang ini sendiri menaggung biaya pendidikan yang diperlukan. e. Sumber Lain/Perorangan Pandangan ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau menerima upah ketika mengajarkan hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri. Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan bahwa para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut. Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas, banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya.  Pola Pengelolaan Dana Pendidikan a. Sentralisasi Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pemegang otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukan bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh Negara, tidak memiliki otoritas untuk untuk mengatur sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui khas Negara atau Bait Al-Mal. Sehingga, nafas kehidupan lembaga endidikan tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sector pendidikan. b. Desentralisasi Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan rill lembaga tersebut dalam segala perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas mutlak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif). Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:  Tradisional Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang jelas dan jauh terarah. Berbagai keperluan operasional pendidikan akan dapat terpenuhi ketika ada pemasukan dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan, atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut kering, maka tertahanlah berbagai kebutuhan pendidikan itu. Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini. Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah dengan roti sebagai pemasukan ditambah sedikit uang pada masa khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola input sukarela ditangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun tambahan yang dicari.  Non-Tradisional Corak ini merupakan antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan oleh penyelenggara lembaga pendidikan tersebut. Sistem wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi wakaf tidak mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu diluar penyelenggara lembaga pendidikan tersebutsebagai pengelola wakaf, juga ketentuan-ketentuan ketat pengguna hasil dana wakaf yang tidak fleksibel hingga tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Nama “Daulah Umawiyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umaiyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup unsure-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Orang-orang yang memiliki ketiga macam unsur-unsur ini di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin, namun ada juga terdapat perbedaan. Pada masa Dinasti Umayyah, perhatian para raja di bidang pendidikan kurang memperlihatkan perkembangannya yang maksimal. Pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan secara alamiah.   DAFTAR PUSTAKA  Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. 1992. Jakarta: Pustaka al-Husna.  Abu Bakar, Istianarah. Sejarah Peradaban Islam untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum. 2008. Malang: UIN-Malang Press.  Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Islam. 2004. Jakarta: Raja Grafindo Persada.