Minggu, 23 Maret 2014
PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH
PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI
BANI UMAYYAH
Tugas Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan PAI.
Dosen : Bapak Prof. DR. Didin S. M.Ag
Di Susun Oleh ;
Aditya Rachman
Muhammad ‘Alwi
Neng Warsih
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2014-2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Perbandingan Pendidikan PAI dengan judul “Pendidikan Pada Masa Dinasti Bani Umayyah”. Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman.
Tugas ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan PAI dan sebagai bahan diskusi mahasiswa, untuk memahami Pola Pendidikan di masa Bani Umayyah. Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan dan kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah 4
2. Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah 6
3. Pendidik Pada Masa Bani Umayyah 7
4. Peserta Didik Pada Masa Bani Umayyah 8
5. Pendanaan Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah 9
BAB II PENUTUP 13
1. Kesimpulan 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern. Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang). Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf.
Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi Monarci(Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus. Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib. Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi.
Pada dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra. Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Sejarah berkembangnya Ilmu Pengetahuan pada masa Bani Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara.
Selain kemajuan seperti di atas ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
1. Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
3. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain.
4. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
A. Khuttab
Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.
B. Masjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid. Peranan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.
Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
C. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.
D. Pendidikan Istana
Pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah. Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”.
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang. Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golongan.
Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.
2. Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah
Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban. Sementara di timur (negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek.
Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum bani Umayyah mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara.
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddahuntuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.
Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasri’).
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetrapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadits dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadits, fiqih dan ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran. Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan perternakan, serta biografi dan kisah.
Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, music, aritmatika, dan hokum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi, teologi-doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib.
Masuknya ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.
3. Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah
Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya, baik sebagai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki.
a. Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Bani Umayyah
Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990: 129) Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 syarat:
1. Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih.
2. Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.
b. Pranata Sosial Guru
Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3 golongan adalah:
Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.
Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.
Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi.
4. Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah
Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa.
a. Pengertian dan Batasan Murid
Murid adalah anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga pendidikan.
Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan dasar.
Di kuttab para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. Menurut Hudgson, pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca dan menulis. Sementara menurut Stanton, pada abad pertama hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokuskan pada menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkan ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.
Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang masuk kedalam pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.
b. Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu dan setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma. Selain itu ada juga orang tua murid yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya.
Lama belajar di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah murid menghafal Alquran.
c. Keadaan Murid
Menurut Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu belajar dimulai pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar. Biasanya setelah selesai shalat zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun murid yng berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dan murid-murid lain harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua.
5. Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot.
Sumber Biaya Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
a. Subsidi Pemerintah/Negara
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar keluar madinah tersebar luas keluar madinah sejalan dengan persebaran masjid.
Di daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur, sehingga biaya pembangunan ditanggung pemerintah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya.
b. Wakaf
Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode pada masa keemasan peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah).
Pemberian wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya pemberi wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang dianut. Disamping itu pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola wakaf tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut.
Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Oleh karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang di biayai oleh hasil wakaf berubah-rubah dari waktu ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.
Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid khan), pembiayaannya berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur berupa pondok dan toko untuk lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka belajar membaca dan menghafal Alquran.
c. Orang Tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi orang tua murid. Biaya ini juga mereflesikan kemajuan siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun. Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.
Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya.
d. Siswa
Seorang ilmuan yang mengajar dimasjid atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar. Ibrahim Al-Zadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan mereka.
Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap yang terdiri dari pekerja. Orang-orang ini sendiri menaggung biaya pendidikan yang diperlukan.
e. Sumber Lain/Perorangan
Pandangan ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau menerima upah ketika mengajarkan hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri.
Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan bahwa para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut.
Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas, banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya.
Pola Pengelolaan Dana Pendidikan
a. Sentralisasi
Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pemegang otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukan bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh Negara, tidak memiliki otoritas untuk untuk mengatur sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui khas Negara atau Bait Al-Mal. Sehingga, nafas kehidupan lembaga endidikan tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sector pendidikan.
b. Desentralisasi
Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan rill lembaga tersebut dalam segala perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas mutlak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
Tradisional
Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang jelas dan jauh terarah. Berbagai keperluan operasional pendidikan akan dapat terpenuhi ketika ada pemasukan dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan, atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut kering, maka tertahanlah berbagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini. Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah dengan roti sebagai pemasukan ditambah sedikit uang pada masa khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola input sukarela ditangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun tambahan yang dicari.
Non-Tradisional
Corak ini merupakan antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan oleh penyelenggara lembaga pendidikan tersebut.
Sistem wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi wakaf tidak mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu diluar penyelenggara lembaga pendidikan tersebutsebagai pengelola wakaf, juga ketentuan-ketentuan ketat pengguna hasil dana wakaf yang tidak fleksibel hingga tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Nama “Daulah Umawiyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umaiyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup unsure-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Orang-orang yang memiliki ketiga macam unsur-unsur ini di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin, namun ada juga terdapat perbedaan. Pada masa Dinasti Umayyah, perhatian para raja di bidang pendidikan kurang memperlihatkan perkembangannya yang maksimal. Pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan secara alamiah.
DAFTAR PUSTAKA
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. 1992. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Abu Bakar, Istianarah. Sejarah Peradaban Islam untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Islam. 2004. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar