Minggu, 23 Maret 2014
Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Tugas Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Pembelajaran Fiqh 1.
Dosen : Drs. Oking Setia Priyatna, M.Ag
Alfiansyah
Muhammad Alwi
Wahyu Antono
Fakultas Agama Islam
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor
2013-2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang pencipta Alam semesta, pengatur jagat raya, dan pemelihara semua makhluk ciptaan-Nya, yang dengan rahmat-Nya kita bisa merasakan segala kenikmatan yang diberikan oleh-Nya, karena tidak ada daya dan upaya untuk melakukan segala sesuatu tanpa keadilan-Nya, dengan kehendak-Nya jugalah sehingga penulis diberikan kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat serta salam tetap tercurah bagi mujahid sejati, pemimpin yang tak salah pilih kasih, sederhana dan penuh simpati dan suri tauladan yang penuh budi pekerti Nabi kita Muhammad SAW, pendobrak pintu kejahiliayahan, penegak keadilan dan seorang iman yang abadi sepanjang zaman.
Tugas ini di buat dan di susun untuk memenuhi salah satu syarat tugas dari mata kuliah Pembelajaran Fiqh 1, sehingga penulis diberi kemampuan untuk membuat dan menyelesaikan tugas tersebut.
Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin untuk menulis tugas ini, tapi penulis menyadari tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan. Harapan penulis, semoga tugas ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kita semua. Dan semoga Allah SWT selalu menuntun kita kepada jalan yang di ridhoi-Nya. Amin ya Robbal ‘ Alamin.
Bogor,…….
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Quran atau sunnahnya. Namun, pada masa berikutnya,masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang. Selain aktif dalam jihad dan dakwah, para para sahabat terkemuka juga mengemban tanggung jawab sebagai rujukan fatwa dan informasi keagamaan bagi umat di daerah yang mereka datangi. Kontak antara bangsa arab dan bangsa- bangsa lain di luar arab dengan corak budayanya yang beragam segera menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan tujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash-nash al-Quran atau hadis dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi. Pada masa berikutnya tanggung jawab itu beralih kepada para tokoh tabi’in, kemudian tabi’ al-tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ushul fiqh?
2. Apa kaidah-kaidah ushul fiqh?
3. Apa kegunaan ushul fiqh?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian ushul fiqh?
2. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh?
3. Mengetahui kegunaan ushul fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqh.
Ushul fiqih (أصول الفقه) tersusun dari dua kata, yaitu ushul (أصول) dan fiqh (الفقه).Ushul (أصول) merupakan jamak (bentuk plural atau majemuk) dari kata ashl (أصل) yang berarti dasar, pondasi atau akar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”. (QS. Ibrahim [14] : 24)
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau, asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3, menyatakan bahwa arti ashl (أصل) secara bahasa adalah perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik pada sesuatu yang bersifat indrawi seperti membangun dinding di atas pondasi, atau bersifat ‘aqli, seperti membangun ma’lul diatas ‘illah dan madlul diatas dalil.
Sehingga pengertian Ushul Fiqh secara etimologi ialah dasar atau pondasi (kaidah) dari suatu pemahaman. Begitupun dengan pendapat para ulama mengenai ushul fiqh, diantaranya pendapat :
1) Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah, yang dimaksud ushul fiqh ialah Ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.
2) Jumhur ulama ushul fiqh mendefinisikan ushul fiqh sebagai himpunan kaidah yang berfungsi sebagai alat penggalian hukum-hukum syara’ (istimbath hukum) dari dalil-dalilnya atau pengetahuan tentang kaedah-kaedah yang dapat menghantarkan seseorang kepada penggalian hukum (istimbathul ahkam)
3) Menurut Abd. Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh ialah Ilmu pengetahuan tentang kaedah-kaedah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliyah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaedah-kaedah atau metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliyah) dari dalil-dalil yang terperinci.
4) Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).
5) Drs. Muhammad Thalib, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terperinci.
Sehingga pengertian Ushul Fiqh secara terminologi ialah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang berfungsi sebagai alat penggalian hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci.
Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh.
B. Kaidah-kaidah ushul fiqh.
Al amru
Pembahasan Al-amru dalam pasal ini hanya meliputi pengertian dan beberapa kaidah tentang Al amru. Pengertian Al amru ialah perintah, suruhan atau tuntutan. Perintah atau suruhan adakalanya datang sesudah larangan dan di pertanyakan pula apakah harus segera dikerjakan atau bila ada perintah mengerjakan sesuatu apakah juga sarana-sarana untuk pelaksanaan perintah itu wajib dilaksanakan dan sebagainya.
Namun demikian yang mashyur di kalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi ialah ibahah.
Seperti firman Allah swt.
Artinya : Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah... ( Q. S al- Jum’ah : 10)
Sesudah larangan dalam ayat berikut :
Artinya : wahai orang-orang beriman apabila di panggil untuk menunaikan shalat pada hari jum’at maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.. (Q.S al-Jum’ah : 9)
Pada ayat pertama ada perintah atau suruhan bertebaran dimuka bumi padahal sebelumnya ada larangan berjual beli yang juga berarti mencangkup dalam hal pekerjaan-pekerjaan lain. Maka dengan demikian perintah pertama boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan.
An nahyu
An nahyu atau nahi, artinya menurut bahasa adalah larangan, tegahan atau yang terlarang. “Tuntutan untuk tidak mengerjakan (mengerjakan) sesuatu dari pihak yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.”
Menurut jumhur makna nahyu pada dasarnya menunjukan kepada haram seperti firman Allah :
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina. (Q.S 17 : 32)
Selain dari itu didapati pula makna-makna nahyu yang menunjukan kepada arti lain. Jumhur ulama membenarkan hal yang demikian akan tetapi apabila ada lafadh yang menyertainya. Bila demikian itu telah ada maka larangan itu bisa berubah dari makna asli yaitu dari haram kepada makna yang lain. Atas dasar itu maka makna larangan itu tidak menunjukan haram tetapi bisa berubah sebagai berikut :
1. Makruh, seperti dalam firman Allah :
Artinya : wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu. (Q.S al-Maidah : 87).
2. Irsyad (petunjuk atau bimbingan), seperti dalam firman Allah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu. (Q.S al-Maidah : 101).
3. Doa, seperti dalam firman Allah :
Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami. (Q.S al-Imran : 8).
4. Kelanggengan, seperti dalam firman Allah :
Artinya : Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari pada yang diperbuat oleh orang-orang dhalim. (Q.S Ibrahim : 42).
5. Menerangkan akibat, seperti dalam firman Allah :
Artinya : Janganlah kamu mengira bahwa orang yang gugur dijalan Allah itu mati tetapi mereka itu hidup. (Q.S al-Imran : 169).
6. Membuat putus asa, seperti dalam firman Allah :
Artinya : Hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan uzur (alasan untuk dapat diampuni) pada hari ini. (Q.S At Tahrim : 7).
7. Menghibur dan menyenangkan hati, seperti dalam firman Allah :
Artinya : Jangan engkau berduka cita sesungguhnya Allah beserta kita. (Q.S At taubah : 40).
Muthlaq dan Muqayyad
Menurut ulama ushul muthlaq ialah suatu lafadh tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Sedangkan lafadh muqayyad dapat dikatakan, suatu lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah firman Allah SWT dibawah ini :
Artinya : orang-orang yang mendhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapat budak maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka barang siapa yang tidak kuasa wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. (Q.S 58 : 3-4).
Penyebutan lafadh Roqobah, dalam ayat tersebut adalah muthlaq maka boleh budak kafir dan budak mukmin.
Penyebutan lafadh Shahroini mutatabi’aini adalah muqayyad maka puasa itu harus berturut-turut selama dua bulan, tidak boleh terputus-putus. Dari ayat tersebut dapat juga menunjukan adanya muqayyad dan muthlaq yaitu :
a. Memerdekakan budak dan berpuasa dua bulan berturut-turut, yang harus dilakukan sebelum kedua suami istri itu bercampur. Disini hukumnya muqayyad.
b. Memberi makan enam puluh orang miskin, tidak disebutkan sebelum atau sesudah bercampur. Disini hukumnya muthlaq. Tetapi karena memberi makan itu sebagai pengganti dari budak atau puasa dua bulan tersebut, maka memberi makan kepada enam puluh orang miskin itupun dilaksanakan sebelum mereka bercampur.
Dhahir
Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukan suatu arti asal tanpa memerlukan faktor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain.
Sebagai contoh dalam firman Allah :
Artinya : .... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...( Q.S Al-Baqarah : 275).
Penjelasan tentang dhahir adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh yang ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung didalamnya.
C. Kegunaan Ushul Fiqh
Adapun kegunaan lain dari ilmu-ilmu ushul fiqih diantaranya :
1. Dengan mengetahui ushul fiqh, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-qur’an, hadist Rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat Islam yang mulia ini
2. Dengan ushul fiqh, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru.
3. Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa Nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam Al-qur’an dan Al-hadits.
4. Dalam ushul fiqh akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan.
5. Dengan mempelajari ushul fiqh, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.
6. Ushul fiqh dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqh seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
7. Ushul fiqh dapat menjaga aqidah islam dengan membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang. Sehingga ushul fiqh merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung dan menangkal segala bentuk kesesatan.
8. Ushul fiqh menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqh, hukum tersebut dapat diketahui.
9. Dalam ushul fiqh, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut.
10. Dengan ushul fiqh, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama islam.
BAB III
KESIMPULAN
Kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh memiliki objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang berdiri sendiri.
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul fiqh. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi menjadi dua yakni, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
DAFTAR PUSTAKA
• Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
• Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
• http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar