Kamis, 03 April 2014
KOMPETENSI PEDAGOGIK YANG BERKAITAN DENGAN APEK MORAL, SOSIAL DAN LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
KOMPETENSI PEDAGOGIK YANG BERKAITAN DENGAN APEK MORAL, SOSIAL DAN LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
Tugas Tafsir 2
Dosen Penguji ; Prof. Dr. Bahrudin Hasyim M.Ag
Di Susun Oleh ;
Mukhammad ‘Alwi
11214210186
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
TAHUN 2012-2013
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih (didalam dunia) lagi Maha Penyayang (didalam akhirat). Tidak ada daya dan upaya melainkan hanya dari Allah SWT, Tuhan pemilik alam semesta ini yang mempunyai hak untuk di ibadahi dan jangan sampai kita menyekutukan_Nya dengan sesuatu apapun.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang membawa risalah yang benar dari Allah SWT dan menuntun kita dari kegelapan hingga terang benderang sampai saat ini. Semoga kita selalu mengikuti sunah-sunah Beliau agar tidak tersesat. Aamiin.
Alhamdulillah atas izin Allah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
Dalam kesempatan ini, kami ingin menghaturkan ucapan terima kasih kepada :
1. Orangtua yang telah memberikan dukungan, baik moril maupun materi.
2. Prof. Dr. Bahrudin Hasyim M.Ag selaku dosen mata kuliah Tafsir 2
3. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 4.b yang menemani di kala suka maupun duka.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Kita sebagai manusia hanya dapat berusaha sebaik mungkin. Begitu pula dengan penulisan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih amat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran dari pihak manapun akan saya terima dengan lapang dada demi penyempurnaan di waktu yang akan datang.
Bogor, juni 2013
Penyusun.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PEMBAHASAN BAB I 1
1. Rumusan
2. Pengertian Etnis/Suku dan berbangsa-bangsa
3. Sebaik-baiknya makhluk
4. Kefasikkan dan ketakwaan
5. Kebaikan dan kejahatan
PENUTUP BAB II
1. Kesimpulan
BAB 1
PEMBAHASAN
1. Rumusan masalah
a. Beberapa suku yang besar, beberapa bangsa ; شُعُوْبًا ?
b. Bersuku-suku ; قَبَا ئِلُ ?
c. Sebaik-baiknya makhluk ; ?
d. (jalan) kefasikan dan ketakwaannya ; ?
e. tidaklah sama kebaikan dan kejahatan ; ?
2. Pengertian Etnis/Suku dan berBangsa-bangsa
Dalam pengertiannya kata etnis memang sulit untuk didefinisikan karena hampir mirip dengan istilahetnik seperti di kutip dari smartpsikologi.blogspot.com disana di jelaskan bahwa istilah etniksendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok, namun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etnis itu sama artinya denganetnik, dan pengertiannya dalam KBBI sendiri sebagai berikut:
“et•nik /étnik/ a Antr bertalian dng kelompok sosial dl sistem sosial atau kebudayaan yg mempunyai arti atau kedudukan tertentu krn keturunan, adat, agama, bahasa, dsb; etnis”
Sementara itu pengertian dari etnik dari berbagai sumber ialah adalah:
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etniik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Suku – suku yang tersebar di Indonesia merupakan warisan sejarah bangsa, persebaran suku bangsa dipengaruhi oleh factor geografis, perdagangan laut, dan kedatangan para penjajah di Indonesia. perbedaan suku bangsa satu dengan suku suku yang lain di suatu daerah dapat terlihat dari ciri-ciri berikut ini.
Ciri-Ciri perbedaan antar suku
a) Tipe fisik, seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain.
b) Bahasa yang dipergunakan, misalnya Bahasa Batak, Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan lain-lain.
c) Adat istiadat, misalnya pakaian adat, upacara perkawinan, dan upacara kematian.
d) Kesenian daerah, misalnya Tari Janger, Tari Serimpi, Tari Cakalele, dan Tari Saudati.
e) Kekerabatan, misalnya patrilineal(sistem keturunan menurut garis ayah) dan matrilineal(sistem keturunan menurut garis ibu).
f) Batasan fisik lingkungan, misalnya Badui dalam dan Badui luar.
Faktor lingkungan geografis yang menyebabkan keanekaragaman suku bangsa
• Negara kita berbentuk kepulauan. Penduduk yang tinggal di satu pulau terpisah dengan penduduk yang tinggal di pulau lain. Penduduk tiap pulau mengembangkan kebiasaan dan adat sendiri. Dalam waktu yang cukup lama akan berkembang menjadi kebudayaan yang berbeda.
• Perbedaan bentuk muka bumi, seperti daerah pantai, dataran rendah, dan pegunungan. Penduduk beradaptasi dengan kondisi geografis alamnya. Adaptasi itu dapat terwujud dalam bentuk perubahan tingkah laku maupun perubahan ciri fisik. Penduduk yang tinggal di daerah pegunungan misalnya, akan berkomunikasi dengan suara yang keras supaya dapat didengar tetangganya. Penduduk yang tinggal di daerah pantai atau di daerah perairan akan mengembangkan keahlian menangkap ikan, dan sebagainya. Perubahan keadaan alam dan proses adaptasi inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman suku bangsa di Indonesia. Besar kecilnya suku bangsa yang ada di Indonesia tidak merata. Suku bangsa yang jumlah anggotanya cukup besar, antara lain suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, Makassar, Minangkabau, Bali, dan Batak.
Biasanya suatu suku bangsa tinggal di wilayah tertentu dalam suatu provinsi di negara kita. Namun tidak selalu demikian. Orang Jawa, orang Batak, orang Bugis, dan orang Minang misalnya, banyak yang merantau ke wilayah lain.
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ an-nâs innâ khalaqnâkum min dzakar wa untsâ (Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan). Al-Jazairi menyatakan, seruan ini merupakan seruan terakhir dalam surat al-Hujurat. Dibandingkan dengan seruan-seruan sebelumnya yang ditujukan kepada orang-orang beriman, seruan ini lebih umum ditujukan kepada seluruh manusia (an-nâs).
Pertama: Allah Swt. mengingatkan manusia tentang asal-usul mereka; bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ). Menurut para mufassir, dzakar wa untsâ ini maksudnya adalah Adam dan Hawa. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain.
Firman Allah Swt., Inna khalaqnâkum min dzakar wa untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar (asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Zat yang sama, Allah Swt. Jadi, perbedaan di antara mereka bukan karena faktor sebelum kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah kejadian mereka. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah Swt.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Waja‘alnâkum syu’ûb[an] wa qabâ`il[an] lita’ârafû (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal). Kata syu‘ûb (jamak dari sya‘b) dan qabâ'il (jamak dari qabîlah) merupakan kelompok manusia yang berpangkal pada satu orangtua (keturunan). Sya‘b adalah tingkatan paling atas, seperti Rabi‘ah, Mudhar, al-Aws, dan al-Khajraj. Tingkatan di bawahnya adalah qabîlah, seperti Bakr dari Rabi‘ah, dan Tamim dari Mudhar. Ke bawahnya masih ada empat tingkatan, yakni: al-imârah, seperti Syayban dari Bakr, Daram dari Tamim, dan Quraysy; al-bathn, seperti Bani Luay dari Qurays, Bani Qushay dari Bani Makhzum; al-fakhidz, seperti Bani Hasyim dan Bani Umayyah dari Bani Luay; dan tingkatan terendah adalah al-fashîlah atau al-‘asyîrah, seperti Bani Abd al-Muthallib.
Jumlah manusia akan terus berkembang hingga menjadi banyak suku dan bangsa yang berbeda-beda. Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor suku atau bangsa.
Ayat ini menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain (lita’ârafû). Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‘âruf itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali dekat atau jauhnya nasabnya dengan pihak lain, bukan untuk saling mengingkari. Berdasarkan ayat ini, Abd ar-Rahman as-Sa’di menyatakan bahwa mengetahui nasab-nasab merupakan perkara yang dituntut syariat. Sebab, manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memang untuk itu. Karena itu, seseorang tidak diperbolehkan menasabkan diri kepada selain orangtuanya.
Dengan mengetahui nasab, berbagai hukum dapat diselesaikan, seperti hukum menyambung silaturahmi dengan orang yang memiliki hak atasnya, hukum pernikahan, pewarisan, dan sebagainya. Di samping itu, taaruf juga berguna untuk saling bantu. Dengan saling bantu antar individu, bangunan masyarakat yang baik dan bahagia dapat diwujudkan.
Setelah menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan, Allah Swt. menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia, yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan seseorang: Inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum.
Mengenai batasan takwa, menurut pendapat yang dikutip al-Khazin, ketakwaan adalah ketika seorang hamba menjauhi larangan-larangan; mengerjakan perintah-perintah dan berbagai keutamaan; tidak lengah dan tidak merasa aman. Jika khilaf dan melakukan perbuatan terlarang, ia tidak merasa aman dan tidak menyerah, namun ia segera mengikutinya dengan amal kebaikan, menampakkan tobat dan penyesalan. Ringkasnya, takwa adalah sikap menetapi apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Banyak ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada ketakwaan semata. Rasulullah saw. pernah bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ ِلأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. أَبَلَّغْتُ؟
Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan? (H.R Ahmad).
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Inna Allâh ‘alîm[un] khabîr[un](Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal). Penyebutan dua sifat Allah Swt. di akhir ayat ini dapat mendorong manusia memenuhi seruan-Nya. Dengan menyadari bahwa Allah Swt. mengetahui segala sesuatu tentang hamba-Nya, lahir-batin, yang tampak maupun yang tersembunyi, akan memudahkan baginya melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya
3. Sebaik-Baiknya makhluk
Demi buah Tin dan buah Zaitun, dan demi bukit Sinai dan demi kota Mekah ini yang aman. Di dalam ayat ini Allah bersumpah : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Allah SWT telah bersumpah dengan empat hal bahwa manusia itu sebaik-baik makhluk
1. Demi buah Tin
2. Demi buah Zaitun
3. Demi bukit Sinai
4. Demi kota Mekah yang aman
Manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk
Mengenai penciptaan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang luar biasa beserta potensi yang dimikilinya, dalam hal ini disebutkan dalam surat At-Tin yang memiliki 8 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat Al-Buruuj. Nama At-Tin ini mempunyai makna yaitu buah Tin. Yang dimaksud dengan “Tin” oleh sebagian ahli tafsir ialah tempat tinggal nabi Nuh. Yaitu damaskus yang banyak tumbuh pohon Tin dan Zaitun ialah Baitul Maqdis yang banyak ditumbuhi buah Zaitun.
Setelah Allah bersumpah atas empat hal dalam ayat sebelumnya 1-3, maka kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” .
Kata لقد خلـقـناô bermakna dan kami menciptakan. Kata kami disini sering digunakan oleh para raja sebagai kata ganti mereka. Begitu juga Allah menggunakan kata-kata kami sebagai pengganti nama diri-Nya. Jadi kata خلقـنا menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan selain Allah swt dalam penciptaan Manusia . Prosesi terjadinya manusia yang diciptakan langsung oleh Allah dari tanah hanyalah Adam as selain itu Siti Hawa (isteri Adam) yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as. Di tempat lain Allah menegaskan bahwa dia adalah Ibu bapak manusia.
Selain daripada penyebutan bahwa manusia sebagai sebaik-baiknya bentuk juga manusia di ciptakan lebih baik daripada makhluk-makhluk yang lain. Sehingga manusia sering disebut sebagai khalifah di muka bumi ini yang diamanahi alam raya ini. Mengenai manusia diciptakan lebih baik daripada makhluk yang lain terdapat dalam surat Al-Isra’ 70 yang berbunyi :
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Yang kemudian penjelasan dari surat At-Tin ayat 4. Kata تقو يم berasal dari kata قومqawama kemudian menjadi قائمة qaimah, استقامه istiqomah, اقيمو aqimu dan sebagainya, yang kesemuanya menunjukkan kesempurnaan sesuatu yang sesuai dengan obyeknya.
Diatas telah disebutkan mengenai adanya peran ibu bapak dalam kejadian anak-anaknya. Dari sini dikemukakan bahwa supaya berhati-hati didalam memilih pasangan hidup (pendamping), adakalanya dipilih dulu keluarga dan keturunannya, seperti dalam istilah jawa yaitu Bibit, Bebet dan Bobot. Dari sini ditemukan sekian banyak petunjuk agama yang berkaitan dengan hal ini, seperti sabda Nabi saw : “pilih-pilihlah tempat menumpahkan benihmu (sperma), karena sesungguhnya gen (bawaan bapak dan ibu) menurun (kepada anak).” Beliau juga bersabda : “berhati-hatilah terhadap qadra’ ad-diman (tumbuhan yang terlihat segar, hijau tetapi membahayakan).” Para sahabat bertanya”Apakah itu?” beliau menjawab: wanita yang cantik (pemuda yang gagah) dari keturunan yang bejat.
Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia mulia makhluk Allah. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan :
وفضلنا هم على كثير تفضيلا
“kami mengutamakan mereka atas banyak yakni bukan semua dari makhluk-makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar” (Q.S al-Isra’ 70)
Di sisi lain Allah pun menyatakan bahwa :
“yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-bainya dalam fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah di bumi dan Makhluk lain pun sebaik-baiknya sesuai fungsi masing-masing.
Kelebihan-kelebihan manusia dari Makhluk yang lain
Manusia memang makhluk ciptaan Allah yang diberikan bentuk yang sangat mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia dijadikan sebagai khalifah dimuka bumi dan memiliki kelebihan-kelebihan yang lainnya:
a. Diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Mengenai manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya terdapat dalam surat At-Tin ayat 4 yang berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Hal itu untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian adam as. Karena itupulalah keunikan manusia dapat dilihat dari struktur tubuh, bentuk muka, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwa, mekanisme yang timbul dalam jiwa serta proses pertumbuhanya melalui tahap-tahap tertentu.
b. Potensi untuk mengetahui benda-benda dan fungsi-fungsi benda itu.
Manusia merupakan manusia yang memiliki kemampuan untuk menganalisa kegunaan sebuah benda, menyusun konsep, mengemukakan pendapat, dan mengembangkan gagasan serta melaksanakannya.
c. Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini
Manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 30;
•
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Maksud dari kata khalifah diatas adalah sebagai pemimpin dan mengurus alam semesta seperti apa yang dituntunkan oleh Allah. Didalam menjalankan perintah-Nya manusia diuji, apakah dia akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya. Ketika mengurus dan menjadi khalifah di muka bumi ini dengan baik dan sesuai syari’at agama maka akan mendapat riho-Nya, dan sebaliknya ketika menjadi pemimpin dengan buruk maka akan mendapatkan laknat dari Allah swt.
d. Mempunyai akal, perasaan dan kemauan.
Dengan akal dan kehendak manusia akan dapat tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi Muslim. Dengan akal pula manusia tidak tunduk, tidak patuh dan ingkar janji yang kemudian mengakibatkan mengingkari Allah swt, karena itu ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 29. Yang artinya:
•
“dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
e. Manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk
Mengenai penciptaan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang luar biasa beserta potensi yang dimikilinya, dalam hal ini disebutkan dalam surat At-Tin yang memiliki 8 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat Al-Buruuj. Nama At-Tin ini mempunyai makna yaitu buah Tin. Yang dimaksud dengan “Tin” oleh sebagian ahli tafsir ialah tempat tinggal nabi Nuh. Yaitu damaskus yang banyak tumbuh pohon Tin dan Zaitun ialah Baitul Maqdis yang banyak ditumbuhi buah Zaitun.
Setelah Allah bersumpah atas empat hal dalam ayat sebelumnya 1-3, maka kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kata لقد خلـقـناô bermakna dan kami menciptakan. Kata kami disini sering digunakan oleh para raja sebagai kata ganti mereka. Begitu juga Allah menggunakan kata-kata kami sebagai pengganti nama diri-Nya. Jadi kata خلقـنا menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan selain Allah swt dalam penciptaan Manusia. Prosesi terjadinya manusia yang diciptakan langsung oleh Allah dari tanah hanyalah Adam as selain itu Siti Hawa (isteri Adam) yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as. Di tempat lain Allah menegaskan bahwa dia adalah Ibu bapak manusia.
Selain daripada penyebutan bahwa manusia sebagai sebaik-baiknya bentuk juga manusia di ciptakan lebih baik daripada makhluk-makhluk yang lain. Sehingga manusia sering disebut sebagai khalifah di muka bumi ini yang diamanahi alam raya ini. Mengenai manusia diciptakan lebih baik daripada makhluk yang lain terdapat dalam surat Al-Isra’ 70 yang berbunyi :
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Yang kemudian penjelasan dari surat At-Tin ayat 4. Kata تقو يم berasal dari kata قوم qawama kemudian menjadi قائمة qaimah, استقامه istiqomah, اقيمو aqimu dan sebagainya, yang kesemuanya menunjukkan kesempurnaan sesuatu yang sesuai dengan obyeknya.
Diatas telah disebutkan mengenai adanya peran ibu bapak dalam kejadian anak-anaknya. Dari sini dikemukakan bahwa supaya berhati-hati didalam memilih pasangan hidup (pendamping), adakalanya dipilih dulu keluarga dan keturunannya, seperti dalam istilah jawa yaitu Bibit, Bebet dan Bobot. Dari sini ditemukan sekian banyak petunjuk agama yang berkaitan dengan hal ini, seperti sabda Nabi saw : “pilih-pilihlah tempat menumpahkan benihmu (sperma), karena sesungguhnya gen (bawaan bapak dan ibu) menurun (kepada anak).” Beliau juga bersabda : “berhati-hatilah terhadap qadra’ ad-diman (tumbuhan yang terlihat segar, hijau tetapi membahayakan).” Para sahabat bertanya”Apakah itu?” beliau menjawab: wanita yang cantik (pemuda yang gagah) dari keturunan yang bejat.
Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia mulia makhluk Allah. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan :
وفضلنا هم على كثير تفضيلا
“kami mengutamakan mereka atas banyak yakni bukan semua dari makhluk-makhluk yang kami ciptakan dengan pengutamaan yang besar” (Q.S al-Isra’ 70)
4. Kefasikkan dan Ketakwaan
Pilihlah Jalan Ketaqwaan dan Jangan Memilih Jalan Kefasikan, Nescaya Allah Akan Mensucikan Jiwamu Dan Dibersihkan Dari Kekotoran
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Allah berfirman (maksudnya):"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (As-Syam 91:8-10)
Ibnu Kathir menafsirkan firman Allah swt dalam ayat ini (maksudnya):"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya",yakni memberi penjelasan kepada jiwa itu,mana jalan menuju kejahatan dan mana jalan menuju ketaqwaan. Maksudnya,Allah menampakkan hal itu kepada jiwa tersebut dan memudahkannya kepada apa yang telah Dia tetapkan untuknya.
Ibnu 'Abbas menafsirkan ayat,"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" yakni Allah menjelaskan kepada jiwa itu tentang kebaikan dan kejahatan (Ath-Thabari(XXIV/454). Juga Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan ats-Tsauri, menafsirkannya demikian (Ath-Thabari(XXIV/455).
Sa'id bin Jubair berkata,"Maksudnya Allah mengilhamkan kepada jiwa itu,kebaikan dan kejahatan." Ibnu Zaid berkata,"Allah menanamkan kejahatan dan ketaqwaan didalam jiwa" (Ath-Thabari(XXIV/455).
Ibnu Kathir menafsirkan dengan mengatakan, "Ada kemungkinan makna nya ialah: Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya dengan ketaatan kepada Allah swt".Ini seperti yang dikatakan oleh Qatadah, "Dan ia membersihkan dirinya dari akhlak yang hina dan rendah". Pendapat seperti itu juga diriwayatkan oleh Mujahid, 'Ikrimah, dan Sa'id bin Jubair, tentang ayat, "dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya", Ibnu Kathir menafsirkan "yakni mengotori jiwa mereka.Maksud nya mereka membiarkan dan menjerumuskan jiwanya dengan menjauhkannya dari petunjuk,sehingga ia berbuat maksiat dan tidak mentaati Allah swt"
Boleh jadi juga maknanya ialah: Sungguh beruntung orang yang disucikan jiwanya oleh Allah,dan sungguh merugi orang yang jiwanya dibiarkan kotor oleh Allah swt,Ini sebagaimana pendapat al-'Aufi dan 'Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu 'Abbas ra.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra,ia berkata, "Apabila Rasulullah membaca ayat ini, "Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" Beliau berhenti, kemudian berdo'a:
اللهم آت نفسي تقواها أنت وليها و مولاها وخير من زكاها
"Ya Allah,limpahkanlah ketaqwaan kepada jiwaku ini.Engkaulah Pemiliknya dan perlindungnya,dYa Allah,limpahkan an Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya" (Ath-Thabari (XI/106)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْهَرَمِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَعِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَدَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَ
"Ya Allah,sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan,dari kepikunan (sangat uzur disebabkan oleh tua) dan sifat penakut,dari sifat kikir dan azab kubur.Ya Allah,limpahkanlah ketaqwaan kepada jiwaku ini.Dan sucikanlah ia.Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya.Engkaulah pemiliknya dan pelindungnya.Ya Allah,sungguh aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyu',dari jiwa yang tidak kenyang (dari merasa puas) dan dari ilmu yg tidak bermanfaat,serta dari do'a yang tidak dikabulkan"
Zaid berkata, "Rasulullah saw mengajarkan do'a tersebut kepada kami,dan kami pun mengajarkannya kepada kalian" (HR Ahmad no.19308 dan juga diriwayatkan oleh Muslim no.2722)
5. Kebaikan dan Kejahatan
a. QS. Al-An’am : 160
Pada suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa berpuasa tiga hari pada tanggal purnama di setiap bulan, berarti dia telah berpuasa setahun penuh”. Pada suatu ketika yang lain rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Shalat Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya adalah merupakan tebusan dosa (kafarat), bahkan ditambah tiga hari sesudahnya”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 160 dari surah al-An’am sebagai dukungan dan membetulkan apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Thabrani dari Hisyam bin Martsad dari Muhammad bin Isma’il dari ayahnya dari Dhamdham bin Zar’ah dari Syuraih bin Ubaid dari abi Malik al-Asy’ari)
Ayat yang dimaksud yaitu :
160. Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.
Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang siapa yang dating kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat murkanya Allah SWT.
b. QS. An-Nisa : 79
Orang-orang munafik apabila dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam berkeluargabaik dari sisi sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kalau mereka mendapat musibah, baik dalam mencari rezeki maupun dalam keluarga selalu menyalah-nyalahkan Rasulullah SAW. Muhammad sebagai penyebab datangnya musibah. Hal itu mereka lakukan karena dalam lahiriyahnya mereka cinta dan tunduk kepada Rasulullah SAW. Tetapi dalam batinnya sangat benci terhadap ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-78 dan ke-79 dari surah an-Nisa sebagai ketegasan, bahwa semua itu datang dari Allah. Musibah datang bukan karena mengikuti ajaran Muhammad, dan bukan pula Muhammad penyebabnya. Tetapi atas kehendak Allah SWT, dimaksudkan sebagai ujian bagi mereka. (HR. Abu Aliyah dari Suddi)
Surah an-Nisa ayat 79 yaitu :
79. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal sunnatullah ini.
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
• Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
• Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
c. QS. Hud : 114
Imam Tarmidzi dan lain-lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits melalui Abu Yusr yang telah menceritakan, aku kedatangan seorang wanita yang mau membuli buah korma. Lalu aku katakan kepadanya, bahwa di dalam rumah terdapat buah-buah korma yang lebih baik daripada yang di luar. Kemudian wanita itu masuk kedalam rumah bersamaku, dan (sesampainya di dalam rumah) aku peluk dia dan kuciumi. Setelah peristiwa itu aku menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua kisah yang kualami itu kepadanya. Maka Nabi saw bersabda: “ Apakah engkau berani berbuat khianat seperti itu terhadap istri seorang mujahid yang sedang berjuang di jalan Allah ?”.selanjutnya Rasulullah menundukkan kepalanya dalam waktu yang cukup lama hingga Allah menurunkan ayat ke 114 dari surah Hud.
114. Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Ayat ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya, dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka ketaatan lain dapatmenghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yaknipetunjuk-petunjuk yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 45, yang artinya “ sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar " .
Dalam tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan maghrib.
Ayat ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal saleh). Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan (nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Wakaf. Tafsir Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Mujarrobat Lengkap.
Al-Qur’an dan terjemahnya. hlm.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:Lentera Hati. 2002
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1998.
Syhab, quraisy. Wawasan al-qur’an. hlm.
Dawam Rahardjo. Ensiklopedi Al-Qur’an. Tafsir sosial berdasarkan konsep kunci.
Al-Qur’an Tafsir dan terjemahnya.
Mudjab Mahali, ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman al-Quran surat al-Baqarah – an-Nas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Persada,2002.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2003.
A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Quran, surah al-Baqarah – an-Nas,Jakarta:PT Radja Grafindo Persada,2002.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati, 2000.
Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin berikut asbabun nuzul jilid 2,bandung: sinar baru al-gensindo,2004.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-6,Jakarta: Lentera hati, 2002.
Kementrian agama RI, syaamil. Al-Quran miracle the reference, saygma publishing, Bandung: 2010.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati, 2000.
Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Jakarta; Pustaka Azzam,2008.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2003.
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-7,Jakarta: Lentera hati, 2002.
PT. Bima Ilmu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Surabaya: PT Bima Ilmu Offset,2003.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar